Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Rabu, 03 April 2013

KATA TAK SEKUAT RASA



KATA TAK SEKUAT RASA
Oleh Qanita Asyd


Ketika Tuanku bercerita bahwa orang-orang yang berjalan di dakwah, lalu lelah atau terluka dan bisa jadi mati, mereka benar-benar beruntung. Aku terkesima. Kiranya saat itu, Allah pasti sedang memusatkan perhatiannya pada mereka. Dia mencintai mereka. Tetapi segumpal ketetapan Sang Raja manusia itu membuatnya goyah. Kulihat bulir-bulir bening jatuh dari matanya.
Ketika Tuanku berkata bahwa ia ingin hidup tanpa kata. Aku tercengang. Sejak itu hidupku berakhirlah sudah. Sudah tak bisa diulang lagi!


***
Pada suatu hari dia berdarah. Sarera, Tuanku yang malang itu menerobos angin berharap menemukan sekula air. Dengan jarak tiga depa ia berlari seraya mengatupkan jemarinya ke wajah menuju sumber air. Kecewa ketika tak menemukan apa yang ia cari. Kasihan. Ia terkulai lemah. Dengan sembarang ia menjatuhkan diri di depan ruang As-Salim, ruang kecil tempat ia dan rekan-rekannya biasa bergumul dengan masalah. Sebuah tempat ketika masa memberi isyarat renta tapi dakwah tak pernah beranjak pergi. Seandainya aku bisa membantunya..
“Tidak patut duduk sendirian di sini.”
Sebuah suara datang dari arah samping. Aku melongok. Seorang pemuda bersayap As-Salim berdiri kokoh. Dari jarak satu meter, aku bisa melihat pemuda itu. Ia telah melukis gelombang lautan di dahinya ketika Sarera tak menanggapi tegurannya. Mendekat sejengkal ketika ia menyadari ada yang janggal. Darah! tetapi Sarera segera mendekapku erat sehingga aku tak bisa lagi melihat pemuda itu. Sayup-sayup kudengar si Pemuda berbicara panik di telepon.
Itu cerita beberapa minggu lalu ketika akhirnya tujuh perempuan datang dan menyelamatkan Sarera. Itu cerita lalu sampai ketika Sarera menutup rapat diriku tatkala nyaris saja ia ingin menceritakan hidupnya seperti yang telah kami lakukan sejak lama. Aku kini menatapnya bosan. Sesekali mendesah melihat tingkahnya yang hanya memberi kata isyarat yang tak kumengerti maknanya.
“Tidakkah kau ingin memberi sesuatu yang bermakna padaku?” kali ini aku tak sabar lagi. Ku tatap Sarera dengan sengit.
“Eh? Umm..” Sarera hanya bergumam.
Aku melotot.
Sejak sepuluh tahun lalu ia membeliku pada seorang wanita asing, ini kali pertama ia menelantarkanku. Padahal aku sangat bangga bila ia menumpahkan semua rasa dan pemikirannya padaku. Aku sudah merasa memiliki teman sejati hanya sampai ketika Sarera tak menyentuhku berminggu-minggu. Aku kosong, namun sesaat setelah gadis itu menggoreskan ujung penanya, aku berisi. Aku bermain bersama fantasi indahnya. Terkadang kami mengarungi samudera dan melintasi negeri Greenwich dan mendikte setiap bunga yang tumbuh disana. Tak jarang kami mengkhayal bersama apakah di surga tumbuh pohon Duku? Berkerat-kerat waktu melebur bersama ekspresi kami.
Sarera pernah bilang bahwa ia tak akan selalu mendatangiku. Katanya, hidupnya seperti cerita yang kadang harus berhenti sejenak, sebelum berlanjut ke babak selanjutnya. Tapi kali ini sudah terlalu. Ia tak lagi bercerita. Ia tak lagi membuka halaman demi halaman tubuhku. Padahal ia begitu piawai mengolah kata. Ia mampu menyusun kata demi kata hingga menjadi kalimat yang bisa membuatku terbawa pada hatinya. Ia selalu menjelaskan semua hal dengan apik. Adapun sekarang aku hanya bisa menatapnya mondar-mandir di kamar. Tak pernah tahu kapan lagi ia menyentuhku. Sarera sadar hal itu.
Sambil menatapku, ia tersenyum, “Ada kata-kata yang sebaiknya kau tak tahu..” bisik Sarera padaku.
Aku terkesiap.
“Kau payah!” pekikku seketika.

***
Semua bermula ketika Sarera menguntai rangkaian kata yang bernama teguran kepada salah seorang saudara. Saudara itu tersinggung. Dan semua menjadi klimaks ketika ia bilang padaku bahwa di Kampusnya, As-Salim sibuk dengan seminar dakwah. Ia termasuk dari sedikit orang yang tak terpilih menjadi panitia. Sambil sesegukan katanya,
“Umayah menangis karena merasa kinerjanya tidak maksimal. Aku tidak.” Lanjutnya, “Alila kehilangan satu mata kuliah karena harus berada di sana. Aku kehilangan satu kesempatan untuk menarik perhatian Rabbku.”
Aku menghela nafas, ia ‘anak baru’ di jalan itu. Ia baru tahu kalau jalan itu susah. Jika tak mati karena hempasan orang pendengki, ia bisa mati karena dirinya sendiri lalu mundur dan tak kembali. Pun baru menyadari kalau ia cemburu.
“Lalu?” tanyaku.
“Ku bilang pada Umayah bahwa ia cengeng. Lalu ia bilang aku tidak akan mengerti karena aku tak punya rasa di dakwah ini.” Suaranya meninggi. “Umayah tahu apa? Apa kata sepenting itu? Apa harus dibilang kita cinta atau tidak?” Sekarang ku rasakan setetes cairan menimpaku. Seperti biasa, hangat.
Tuanku terluka. Sama halnya dengan Umayah. Sejak dulu Sarera selalu menganggap santai semua hal. Kecuali, lidahnya. Semua berbeda ketika luka yang tercipta karena dialah sebabnya. Pun ia memiliki luka karena melukai orang. Hingga ia menyesali kata.
“Kalau kata tak ada, aku tak akan lahir..” aku memotong.

***
Sekalipun kata tak lagi bersama Sarera dan aku menjadi sekarat. Sarera selalu membawaku ketika ia pergi. Itu ia lakukan untuk menghiburku. Sering ia masuk ke dalam duniaku untuk sekadar membaca ulang dan mengingat. Sarera benar-benar menepati janjinya. Ia tak lagi hidup dengan kata. Ia berhenti menulis dan bicara. Ia mengantri loket tanpa kata, memesan makanan tanpa kata, dan mengejutkan sekali ketika diam itu lebih baik. Sarera tak perlu lagi cemas dengan hati-hati yang luka karena kata atau tak perlu lagi menerima pembalasan yang lebih sakit karena kata. ia tak berkata, maka lawan bicara tentu tak akan berkata padanya. Sejak sang Mama masuk ke dalam sebuah ruangan di kampus-entah ruang apa namanya- lalu keluar, sejak itu pula semua orang memaklumi Sarera. Ia hidup tanpa kata.
Tetapi tidak bagi Umayah.  Langkah panjangnya berhasil menyusul Sarera sore itu. Menyodorkan secarik kertas berwarna hijau. Umayyah bilang itu kutipan dari perkataan seorang Syaikh. Sebuah kutipan yang membuat Sarera redup.
“Sarera.. kemarin kukira orang yang di maksud itu adalah kamu.” Umayyah bicara pelan.
Sarera terlihat tenang walau ku tahu jantungnya berdegup kencang.
“Tapi, aku pun juga termasuk orang itu.” Ujar Umayyah, “Sarera, bukan ukhuwah yang membentuk iman. Tapi iman itu sendiri yang membuat kita bisa bersama sampai detik ini..” ia menghela napas. “ku harap iman kita sedang tidak bolong. Jadi besok pagi ketika kita bertemu, kita bisa saling sapa lagi tanpa mengingat yang kemarin..”
Perlahan langkah Tuanku Sarera menuju pada Umayyah. Aku tahu. Tuanku sangat rindu dengan bahu milik Umayyah. Sudah lama sejak pertengkaran itu.
“Bisakah kau berhenti hidup tanpa kata? dakwah kita pun butuh kata, Rera..”
Sarera mengangguk. Ketika ku intip, mata dua wanita itu memiliki sinar yang sama. Aku mengira keduanya memiliki rasa yang sama. Sehingga tak perlu lagi kata untuk menyampaikan. Dan kata tak berguna lagi karena hati telah saling bicara.

Orang-orang yang terlalu semangat atau emosional ini menyangka bahwa dengan semangat dan emosinya mereka akan mampu memberikan kepada Islam sesuatu yang tak pernah dapat diberikan oleh orang-orang sebelumnya. Malah kadangkala keadaanya lebih keterlaluan. Apalagi mereka dengan sewenang-wenang menuduh dan menyebut orang-orang yang tidak menyamai semangat dan emosinya sebagai orang-orang yang lemah, penakut, dan pengecut.”
(Syaikh Musthafa Masyhur)

***

Dia adalah Tuhan Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. (Al-Jin: 26)
Begitu yang Sarera sampaikan padaku ketika ia kembali ke duniaku lagi. Sarera sudah mulai menulis lagi walau tak jelas apa yang ia tulis. Tapi kali ini ia lebih waspada. ia hanya menulis kicauan burung pipit di taman kampus daripada menulis hatinya. ia hanya melukis sebuah garis horizontal tepat ketika sudut matanya menangkap seseorang. Sejauh tiga meter seorang pemuda melintas. Aku ingat dia. Pemuda yang berbicara panik di telepon ketika Tuanku mimisan.
“O o..  Apa kau tak mau bercerita jasa pemuda itu?” Godaku padanya. Sengaja menuntun penanya untuk menulis tentang pemuda itu.
Sarera menggeleng. “Setan tidak mengetahui urusan ghaib, termasuk isi hati dan isi pikiran..” jawab Tuanku. “Setan tak pernah tahu nabi Sulaiman telah meninggal. Kecuali ketika rayap memakan tongkatnya. Setan baru menyadari..”
Aku menatap Sarera.
“Aku menulisnya, setan membacanya. Aku mengatakannya, setan mendengar..” Begitu yang Sarera jelaskan padaku. Ia seolah mengerti makna tatapanku. kemudian memutuskan bercerita padaku, menulis pada tubuhku. “Kau harus mengerti. Aku tak akan bercerita sembarangan lagi padamu..” lanjutnya.
Butuh beberapa menit untuk mengerti maksud Sarera. Kebaikan pemuda itu telah memberi kesan. Jika ia tak hati-hati, sebentar lagi ujung pena akan menuliskan nama pemuda itu. Dan setan yang berada di samping kami akan membacanya. Jika mereka tahu, tentu mereka akan semakin menghembuskan bergumpal-gumpal angan kosong pada Tuanku.
“Baiklah, aku mengerti. Tapi bukankah kata tak lagi kau benci? sekarang kau sudah menulis lagi, tapi kenapa belum bicara?” sesaat setelah aku menanyakan hal itu, dua tetes cairan hangat menghujani tubuhku. Seperti biasa. Tuanku mimisan. Tak berapa lama, Sarera menyelipkan selembar kertas di tubuhku.
“Ini surat vonis dokter. Kanker Nashofaring.. perlahan menyerang hidungku, leherku.. pita suaraku.. mataku.. hingga otakku..”
Serak!
Dua cairan berbeda warna mengalir padaku. Air mata dan darahkah? Entahlah.. tetapi Sarera tetap menulis. Ia tak peduli lagi dengan darahnya. Ia hanya ingin meraup kata yang sempat ia buang, mengubahnya menjadi tentara Allah. Ia hanya ingin menulis sebagai persembahan cintanya pada Tuhannya. Sekalipun kata tak pernah sekuat rasa.
***
Betapapun indah dan logis artikulasi dari kata-kata.
Toh kata tetap tak pernah utuh dalam mewakili rasa.
Karena kata tak sekuat rasa..

Sebapo, Jambi
Sunday, March 24, 2013

3 komentar: