Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Jumat, 10 Mei 2013

Cerpen : Dia Tanpa Aku



DIA TANPA AKU 
Oleh Ika Y. Suryadi


Di atas Amanah
Ada sebuah catatan menarik dari pertemuan antara Aku dan Dia. Dari beberapa kalimatnya, Ia berkata, “Saya baru bertemu denganmu. Maukah kamu masuk ke rumahku? Mungkin tidak banyak hal menyenangkan.” Ungkapan yang terakhir, ada anggapan bahwa seolah-olah Aku akan menemukan hal buruk. Mungkin rumahnya benar-benar tak menyenangkan.

“Bagaimana rasanya?” Mas Fadli bertanya padaku.
Aku melukis gelombang lautan di dahi yang seolah terombang-ambing oleh angin. Pertanyaan Mas Fadli lebih kepada khawatir ketimbang ingin tahu. Jawabku, “Sejauh ini baik, Mas.. Dia menyenangkan. Kemarin kami tamasya ke bukit bintang.”
“Alhamdulillah. Yang baik dengannya ya Gus.”
“InsyaAllah” Aku mengangguk.
Enam bulan yang lalu Mas Fadli menceritakan padaku tentang badai. Seperti para pujangga ia berkata bahwa di tengah badai kita merindukan pahlawan.
Pahlawan yang kata Sapardi, "telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah". Pahlawan yang kata Chairil Anwar, "berselempang semangat yang tak bisa mati”. Lalu serta merta Mas Fadli meminta padaku untuk datang ke sebuah rumah sewaan pada sore harinya. Maka, jadilah hari itu titik awalku berkenalan dengan Dia.
Dia tahu, Aku maniak ilmu seperti buku pada pena. Meraup semua teori menjadi karya, dia tahu itu. Namun ketika sebuah keputusan jamaah tiba, bahwa aku harus memimpin Al-Iltizam, Sebuah tanah perang yang tak pernah aku harapkan sebelumnya. Sekerat kecewa menelusup ke dada. Aku tak pernah tahu itu, tapi setiap melihat ikhwah di wajihah yang aku cintai terbang kesana kemari menyapa, aku seperti hangus.
’afwan. Ikhlas antum, Gus?” suara Mas Said menggelegar.
“InsyaAllah. Ini sudah menjadi amanah untuk ana.” Jawabku lebih menggelegar. Sore itu Mas Said mendatangiku.
“Lantas kenapa seperti ini?” Mas Said menjulurkan berlembar kertas yang dipegangnya sedari tadi. Di kertas itu, tinta pena telah mengering, grafik kader menurun. Kajian tak pernah rutin. Kehadiranku pun dalam tiap agenda bisa dihitung. Benar-benar hancur! 
Ana tahu antum berusaha amanah.” Ujar Mas Said akhirnya. “Tapi antum harus tahu, amanah saja tidak cukup!”
Darahku berdesir. Setengah berbisik kubilang, “lantas?”
“Cinta, akhi. Antum harus cinta!”
Aku bergeming. Tak punya alibi untuk berkata tidak. Tapi tak sudi untuk membenarkan. Aku merasa telah memiliki cinta pada Al-Iltizam. Tapi sebesar apa?
Cinta yang akan membentuk cita-cita besar. Impian besar. Impian yang akan dibawa kemana pun, bahkan dalam tidur. Impian yang membuncah dalam hati dan darah. Impian yang mendobrak paksa pintu lelah. Impian yang akan membawa Al-Iltizam menjadi besar. Aku miskin cita-cita seperti itu!
Telingaku panas. Kembali terngiang ucapan Mas Fadli setahun yang lalu, “orang-orang yang menganggap Al-Iltizam hanya sekadar organisasi seperti yang lain. Maka sampai di situlah kinerjanya. Jangan menuntut hal besar pada orang seperti itu.”
Samar-samar kulihat dia, sosok yang dikenalkan Mas Fadli dahulu. Dakwah. Berjalan meninggalkanku. Kubilang padanya untuk menunggu. Tapi Ia tak pernah menunggu. Aku yang harus mengejarnya. Terseok-seok mengajak baikan.
Dia tanpa aku
: baik-baik saja


Pilihan Langit
Maliki menelusuri kamar petakku. Bibirnya berdecak menggerutu. Seraya mengumpulkan helaian koran menjadi satu. Membacanya satu persatu. Tampak jelas riak wajahnya sendu. Katanya, di mana komitmenku?
Kau tak mengerti, jawabku.
***
Ini ketiga kalinya Bang Anas meneleponku. Memastikan perihal kesediaanku mengisi Mentoring di kampus. Aku garuk kepala. Alasan belum siap sudah kuungkapkan ketika ia memintaku menjadi ketua panitia dalam sebuah seminar dakwah yang besar. Ku putar otakku, mencari alasan lain. Refleks, kukatakan,
’Afwan, ana merasa belum cukup ilmu, Bang.”
Nun jauh disana, helaan berat Bang Anas terdengar. Kemana lagi ia harus mencari tambahan tutor? Tapi Bang Anas mengalah. Sambungan telepon terputus.
Berhasil.
“Antum akh..” Maliki membuka mulutnya.
“’Kan serahkan pada ahlinya, akh.” Aku membela diri. Sudah tahu apa yang mau ia katakan.
“Kalau semua ikhwah seperti itu, kacau, akh. Ngisi halaqoh itu nyebar ilmu, dan Allah sudah menyuruh kita semua untuk menebarkan ilmu. Memimpin itu wajar, toh kita semua pemimpin. Hal-hal seperti itu nggak saklek jadi ahli dulu. Kita sambil belajar.” Maliki menyeruput teh hangatnya, kemudian berujar kembali, “seperti akhi Hasan, dari segi manapun dilihat, dia pendiam dan pemalu parah. Kalo ketemu akhwat nunduk-nunduk sampe jatuh ke got, toh tetep mau ngisi mentoring. Akhi Deni, ahlinya karya tulis, toh jadi ‘ustadz’ untuk adik-adiknya juga bisa.”
Maliki terus memberikan contoh dari semua ikhwan di muka kampus. Aku meringis. Semakin sakit jika mendengar prestasi bintang-bintang itu. Memang aku yang salah.
“ana.. hanya merasa tidak pantas.”
“Kalau gitu, ayo! Kita memantaskan diri.” Seru Maliki sambil tertawa. Gigi gerahamnya sampai terlihat. Jemarinya menjulur padaku seolah mengajak pergi.
Bang Anas memang pernah bilang pada kami, Al-Fatih tak pernah tahu, bahwa dialah yang menaklukan Romawi. Bahwa dialah yang dimaksud dalam Al-Quran. Yang ia lakukan hanyalah memantaskan diri. Terus memantaskan diri.
“Antum harus selalu belajar agar pantas dapet IP tinggi. Kalo Nggak belajar wajar kalo antum tidak pantas dapet IP 3,00 apalagi 4,00. Alhamdulillah antum dapet IP tinggi, itu artinya selama semester kemarin, antum selalu belajar kan? Selalu berusaha memantaskan diri, bukan? Sama, antum merasa tidak pantas di dakwah ini? Ayo berusaha supaya pantas. betul akhi?” kata Bang Anas saat itu, kata-katanya kembali mengitari kepalaku. Amalan ini tak pernah pantas untuk menebus syurga. Tapi, Allah selalu bilang untuk terus berusaha memantaskan diri.
Ku cukupkan hari ini. Ada getir menulusup dalam dada. Perasaan bersalah tiba-tiba muncul. Ku biarkan saja..
***

“’Afwan, bang..” kataku esok harinya. Ingin minta maaf.
Beberapa saat yang lalu, kudapati Bang Anas duduk di Taman. Ku hampiri ia.
“Lho, untuk apa?”
“Penolakan kemarin..”
Hening.
“Ana harap abang tidak marah.”
la..” Bang Anas tersenyum. “ana tidak marah sama sekali.”
Aku mengangkat kepala. Udara lega perlahan mengalir.
“Bukan antum yang menolak amanah ini. Pada hakikatnya, Allah tidak memilih antum.”
Aku terhenyak.
Bang anas pamit undur diri. Ingin menemui dosen, katanya. Meninggalkanku seorang diri. Meninggalkanku yang masih tertegun dengan ucapannya barusan. Kutatap punggung Bang Anas hingga titik terjauh. Tidak! Yang di sebelah situ!
Itu bukan punggung Bang Anas. Itu punggung siapa? Kenapa aku jauh? Kenapa jaraknya dekat dengan Maliki? Kenapa sangat dekat dengan Hasan? Punggung Dia, ya? Punggung dakwah..?
Perlahan air mata ini mengalir. Menyisakan jejak panjang di wajah. Kenapa aku begitu lega sedangkan yang lain susah? kenapa tidak sedih ketika tak terpilih? Dan bodohnya, aku yang membuat diriku sendiri tak terpilih!

“Bukan kamu yang menolak amanah.
Pada hakikatnya,
Allah tidak memilihmu!”

Bersabarlah Sehari Lagi
Ku pandang wajah Zaki. Ia sebaik-baiknya saudara. Bersayap putih. Mengingatkanku pada kebaikan. Mengingatkanku pada wajah ilahi. Tapi dahulu –sejak bendera penghubung antara aku dan dia tersobek – atau kurasa hingga saat ini ia masih sebaik-baiknya saudara. Sudah ku bilang, “aku tak punya alasan” ketika Zaki mendarat padaku dengan sayap patahnya, perihal mengapa aku menghilang. Katanya, aku tak sama lagi. Ku bilang, ia mengigau.
“Apa kau punya masalah, Zul?”
Aku diam. Melewati Zaki begitu saja. Tapi derap langkahnya semakin lebar. Air matanya mengalir. Memohon padaku untuk kembali.
“Kembali kemana?” aku berkernyit. Zaki telah di depan mata.
“Ayo, pulang..” Zaki menjulurkan tangannya, kemudian menawarkan bahunya. “Demi Allah, kita harus terus bersama di jamaah ini.”
“Tidak..” Aku melengos. Aku mulai berjalan lagi. Di depanku nyanyian-nyanyian merdu terdengar syahdu. Perak dan emas punya cerita di sana. Lambaian-lambaian makhluk indah begitu menawan.
“Zul..! wallahi.. di jalan ini kita bisa selamat!”
Aku terhenti sebentar. Sejenak menoleh ke jalan dimana Saki berasal. Menoleh lagi ke arah Zaki. Sayapnya patah, wajahnya pias dengan luka lebam di raganya. Ada banyak duri di sana..
Ku bilang, “Zaki, apa yang menahanmu di sana? Ikut saja aku.”
 “Kenapa aku harus pergi dari sana kalau Allah saja ada di sana?” Zaki bergetar.
“Kau terluka parah!” Aku tak sabar. “Lihat sayapmu! Hancur!”
Zaki terhenyak. Serta merta ia berteriak, “Zul..! di dunia ini yang punya sayap hancur banyak. Tapi mereka tak beriman. Mereka bersabar tapi kesabaran mereka percuma karena mereka tak beriman! Zul...! aku beruntung! Sayapku patah tapi aku beriman! aku beruntung! Orang-orang di hancurkan sayapnya karena mencuri, sayapku hancur karena berdakwah! Mereka di hina karena kedurjanaan mereka. Aku dihina karena ada bendera Allah di tanganku!
Zul..! Mereka tidak tidur semalaman karena menari-nari bersama biduan atau tertawa lebar dengan perbuatan mubah bahkan haram! sedang kau tidak tidur karena harus memenangkan dakwah! Zul..! Mereka di penjara karena korupsi! Kau di penjara karena berdakwah! Seseorang dikucilkan karena berbuat keburukan, dan kau dikucilkan karena berbuat kebaikan! Kau beruntung, Zul..! jangan kau hancurkan semuanya hanya dengan satu langkah ke jalan itu..!”
Ku tatap mata Zaki. Tak ada keraguan di sana. Mataku panas. Tapi aku tidak tahan lagi! Sayapku telah hancur sehancur-hancurnya!
“Zul.. ayo pulang. Lewat sini! Bukan lewat sana..” Zaki menarikku dengan ringkih. “Zul.. bersabarlah sehari lagi!”
“Kau selalu bilang hal itu! Bersabar sehari lagi, bersabar sehari lagi, tapi aku sudah lelah!”
“Zul.. ini benar. Demi Allah. Sebentar lagi kita pulang...” Zaki semakin lemah. Luka di sekujur tubuhnya telah membuat ia kehilangan banyak darah. Tapi ia tak pernah menyerah. “Zul.. ingatlah janji kita dahulu, dengan syahadat kita bersumpah! Allah saksinya, Zul!” teriaknya lagi. Serak.
Aku ingat itu, samar-samar. Ketika bumi bergemuruh karena syahadat kami. Ketika dahulu kami saling bersumpah menjaga nama baik pergerakan dakwah ini. Ketika lisan berucap tak akan lari ke belakang. Ketika Buya Ali memegang ikrar kami seraya membaca Ayat suci...

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah menegtahui apa yang kamu perbuat” (An-Nahl: 91)

            “Dengar.. mereka mengkadermu, bukan untuk melakukan hal ini, Zul. Bukan untuk banyak tertawa. Bukan untuk sebuah penghormatan manusia. Bukan, Zul. Tapi untuk hal yang lebih besar..!”
            “Aaaarkhhh!!!!!” Ku hempas tangan Zaki hingga ia jatuh terperosok. Aku semakin terpojok saja! Aku bingung! “Baru sekarang kau datang, Zaki? Musibah itu datang, kau ke mana..? Aku sendirian, kau di mana..? sekarang Aku sudah berpenyakit, Zaki....!!! Aku tidak pantas lagi bersama kalian...!! KEMARIN KALIAN DIMANA...!!!”
            “Bicara apa kau, Zul...!” Saki melotot.
Sial! Aku hilang kendali. Untuk sesaat, aku lihat Zaki begitu marah lalu menunduk penuh sesal.
“Maafkan aku Zul..Aku pun punya sakit sendiri.. tapi kau harus percaya. Dugaanmu salah.. Tak sesempit itu ukhuwah kita...! tak sesempit itu pandangan Allah tentangmu! Kenapa kau menyempitkan yang luas...?”
 “Kapan kita pulang...!” aku alihkan pembicaraan.
            “Demi Allah, sebentar lagi, Zul... ayo.. lewat sini..jangan lewat sana..” Zaki berdesis. Sayap putihnya semakin lemah dan hancur saja. Tiga tombak musuh telah bersarang di tubuh Zaki. Ia kehabisan darah. Jemarinya tak mampu lagi menggenggamku. Tak ada lagi teriakan Zaki. Hanya nyanyia-nyanyian syahdu di jalan sana. Hanya itu yang terdengar. Sejenak ku tatap Zaki, seonggok daging masih dengan nyawa, terengah-engah. Sesaat terlintas keinginan untuk meletakkan saja kepala Zaki di pangkuanku. Menurutinya untuk tak beranjak pergi. Tapi, kondisiku pun tak lebih baik dari Zaki! Sama parahnya!
            Perlahan, ku lanjutkan langkah ini. Nyanyian syahdu itu semakin jelas terdengar. Tak seperti jalan Zaki. Terasing.
            “Zul..”
            Aku terkesiap. Lalu menoleh ke belakang. Zaki!
            Zaki mengacungkan jarinya padaku. Air matanya meleleh. Bibirnya yang pecah mencoba bersuara, “Zul.. Semua penyakit itu bersumber dari pudarnya cita-cita...”
            Hening.
            Syahadat terdengar samar. Malaikat maut menyambut Zaki.
Tinggal Aku sendirian di sini. Hanya berlutut menggoncang-goncang tubuh Zaki. Cita-cita? Ya. Kami dulu meneriaki dunia perihal impian kami. Islam akan kembali berjaya. Buya Ali pernah bilang, sekalipun aku seorang diri di jalan dakwah ini, terluka, hingga tak sanggup berdiri, dan aku pikir sebaiknya aku pergi saja, tapi cita-cita yang besar akan menahanku. Jiwa yang besar akan membawa hati yang luka dan raga yang lelah untuk menuruti kemauannya. Tak peduli sesulit apapun. Sesepi apapun. Cita-cita ini harus terwujud!
Ku kecup dahi Zaki. Sedangkan nyanyian syahdu, ketenangan memikat dan lambaian makhluk menawan di sana, masih terus menggoda.. []

 
Dia tanpa Aku
: seperti kereta dan kursi,
 Ditinggal penumpang kini,
Penumpang baru tiba,
Kursi kosong terisi lagi



~ Sesudah itu wahai orang-orang yang menyeru manusia kepada Islam. Sesungguhnya orang yang bersungguh-sugguh pasti meraih keberhasilan, dan tidaklah sama antara orang yang melek dan orang yang tidur. Maka janganlah engkau menjadi seperti orang-orang yang bergabung di dalam ketentaraan, sedangkan hatinya lalai dari tugas-tugasnya. Kematian ini tidak jauh darimu sama dengan jarak sejengkal. Malam-malam hari ini merayap mengurangi saat-saat usiamu.
Dan bahwa ketinggian itu mahal harganya, dan tiada lain bayarannya hanya dengan mengikuti madrasah kufah dan syam serta madrasah Imam kota Bashrah al-Hasan. Perhatikanlah keadaan dirimu. Dan gunakanlah waktumu sebaik-baiknya. Karena sesungguhnya persinggahan ini sebentar, keberangkatan sudah dekat, perjalanan sangat menakutkan, penuh dengan jebakan yang memeperdayakan dan bahaya yang besar, sedang Pengawas Maha Melihat.
Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kami dan juga kamu.~
(Muhammad Ahmad ar-Rasyid dalam buku Ar-Raqa’iq (Pelembut Hati))
 

Dunia ini penjara bagi orang beriman ~ ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar