Laman

Selamat Datang

"Perempuan dan sastra itu sama. Sama-sama bisa menyembunyikan apa yang ingin disembunyikan."

Rabu, 21 September 2016

Aku dan FLP

Dari Garasi Untuk Negeri

Tema : Aku dan FLP

“This is my family. I found it, all on my own. It's Little and broken. 
But still good, yeah still good.”(Lilo and Stitch, 2002)

(momen Kelas Menulis FLP. Lokasi: Hutan Pinus Jambi)
Setelah menyadari kalau aku bukan anak raja, apalagi anak ulama, maka pada tahun 2011 yang ceria, kuputuskan memasuki garasi itu—markas darurat FLP di kota Jambi—yang disulap menjadi tempat belajar menulis sekreatif mungkin. Aku ingat betul salah satu syarat bergabung FLP adalah menulis cerpen bertemakan ke-FLP-an,  jadilah aku menulis dengan judul ‘Seratus Ribu untuk Zahra’ yang judulnya mirip FTV itu, yang isinya betul-betul berantakan mirip baju basah di musim hujan. Kusut. FLP-nya hanya tempelan, sisanya tentang Zahra yang miskin nan papa yang berjuang mencari uang dan akhirnya mendapatkan uang dari meminjam. Aku yakin orang yang membaca akan berkomentar, “Terus intinya?”

Tetapi, senang sekali aku bisa bergabung.
Aku mengetahui FLP sejak zaman memasuki awal era milenium, dan sinetron Panji Manusia Milenium masih tontonan wajib bagi anak-anak sepertiku. Elang Selebritis, karya Mbak Afifah Afra adalah karya anak FLP pertama yang aku baca. Setelah itu, sudah. Sedikit sekali niat untuk jadi penulis. Aku justru ingin jadi komikus dan membuat gambar seperti di cover Elang Selebritis. Bagiku, cowok di cover Elang Selebritis itu sungguh keren. Tetapi bagaimanapun, kisah Elang Selebritis sudah mengontrol kegilaan masa remajaku. Dan, hari ini aku sadar satu hal, FLP itu seperti ingatan yang gagal dilupakan. Dia tidak mati sama sekali di dalam intiku, hanya sembunyi di sela-sela pembuluh. Dan ketika aku memasuki dunia kuliah, pamflet open recruitment FLP membuat ingatan itu kembali menunjukkan diri. Mataku tidak asing dengan logo itu.
Tidak ada komunitas yang dermawan, yang membagi tips-tips menulis dengan cuma-cuma, dan yang sabar membaca karya ‘peduli setan’ milikku selain kawan-kawan FLP. Hari itu langit dan awan berwarna perak, hari itu juga aku dibuat kaget bukan kepalang atas komentar pedas sesepuh FLP di kota kami. Katanya, gaya tulisanku ini persis Kang Abik tapi nggak jadi. Lalu yang satunya berkomentar gaya menulisku lembut-lembut monoton. Penuh dogma tanpa filter, puitis tapi maksa. Lalu mereka memberiku PR untuk rajin membaca buku, menulis dan menemukan warnaku. Aku menurut dan berlatih sebisanya. Walau terkadang kupikir aku memang tidak berbakat menulis.

(Momen belajar nulis novel bareng di Writing Training)

Pada suatu hari di awal 2013, ketika masa kuliah, kesenangan berorganisasi, dan pembelajaran menulisku sedang berlangsung. Ayahku jatuh sakit. Lumpuh, tak mampu berjalan lagi. Setahun lebih aku hilang tanpa kabar dari FLP. Markas FLP jauh dari rumah dan aku harus menempuh dua kali naik angkot untuk ke sana. Waktuku habis membantu ibu, merawat ayah dan kuliah. Tapi aku tetap mengerjakan PR-ku. Sejujurnya, aku rindu sekali suasana di garasi itu. Suasana penuh kritik cabai, suka duka, tiga sekawan yang kalau sudah bertemu tidak henti-hentinya bergurau (Bang Ian, Bang Tommy, Bang Didin), persaudaraan, kekonyolan, pembelajaran dan kesahajaan. Tapi kupikir, kehilangan anggota yang biasa-biasa saja sepertiku tak jadi soal.
Di akhir tahun 2014, aku kaget betulan saat teman-teman FLP datang ke rumah dan menjenguk ayah. Mereka mengajak ayahku yang muram berbincang-bincang dan tertawa. Aku sangat terharu dengan sikap mereka. Aku ingin berkata “Hei, aku udah hilang lama banget loh.” Hari itu aku tahu bahwasanya FLP bukan hanya sekadar komunitas menulis, melainkan keluarga menulis. Mereka benar-benar memperlakukan aku dengan sangat baik.  Sadar atau tidak, mereka telah mengikat hatiku. 
Komunitas ini juga menyadarkanku suatu hal kalau menulis adalah aktivitas yang memiliki peran besar dalam peradaban bahkan perubahan dunia. Tapi kebanyakan kita masih ‘sakit’ untuk menyadari dan mengizinkan diri untuk ikut berperan dalam perubahan dunia. Hitler, Musolini, Mao Tse Tung, Lenin, Stalin adalah orang yang bertanggung jawab besar atas jutaan manusia yang mati dibantai pada era mereka. Kekejaman mereka dalam memimpin tak pernah terlepas dari dunia kepenulisan yang ikut handil dalam membentuk pola pikir mereka. The Prince, sebuah buku yang ditulis oleh Machiavelli adalah buku bacaan para pemimpin sadis itu. Faktanya, buku itu mengungkapkan ide bahwa untuk mempertahankan kekuasaan, pemimpin diperkenankan menggunakan kekerasan. Bahkan tanpa ragu. Total.
Begitulah. Maka sejak peristiwa menjenguk itu, aku berjanji akan serius di FLP. Sebisa mungkin aku akan berkontribusi untuk menebar manfaat ke negeri melalui literasi, bagaimanapun caranya; online atau offline. Perihal menulis, aku sempat pesimis bisa jadi penulis. Tetapi, bersama FLP, aku seperti mesin karatan yang sedang diperbaiki. Aku lebih berani dan percaya diri. Bisa dibilang, FLP benar-benar mendidik penulis malas sepertiku dari nol sampai akhirnya aku pelan-pelan bisa menerbitkan antologi kisah inspiratif, essai, cerpen, puisi, memenangkan kompetisi artikel nasional, menjadi peserta lomba essai internasional, dan mengikuti berbagai lomba menulis lainnya. Tidak jarang kalah, tapi itu tak jadi masalah. Dan semua itu tidak lepas dari saran dan didikan kakak dan teman-teman di FLP. Kami memang tidak dijanjikan akan jadi penulis besar jika bergabung, tapi kami selalu diyakinkan akan menjadi besar jika berusaha. Ini mirip seperti pepatah cina; Teacher open the door, but you must enter by yourself. Tidak ada yang tidak mungkin kalau berusaha. FLP mengajariku untuk terus berusaha. Dan, itu sungguh bersahaja.
FLP, terimakasih. Sangat terimakasih.[]


(Video FLP Wilayah Jambi)





2 komentar: